Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI ALAT DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


Illustrasi Pejabat Publik
Konsepsi negara hukum dalam proses penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah selalu berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Peraturan perundang-undangan merupakan konsekensi logis dari turunan undang-undang dasar sebagai penderivatifan dari aturan yang lebih tingggi. Undang-undang tersebut menjadi acuan dalam proses penyelenggaraan administrasi pemerintah. Paradigma dalam suatu undang-undang terdapat asas legalitas sebagai awal lahirnya kewenangan yang melekat pada setiap pejabat dalam melakukan tugas dan wewenangnya. Asas legalitas menjadi akan menjadi dasar legitimasi yang bersifat formal sebagai upaya penyelenggara negara ikut melindungi hak-hak rakyatnya. Penulis memberikan pemaknaan dengan adanya asas legalitas menurut pandangan Sjachran Basah berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya konstitutif [1][1].
Azas legalitas memberikan dasar kewenangan bertindak bagi pemerintah atau pejabat administrasi negara. Akan tetapi setiap perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah atau jabatan administrasi negara yang keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau melanggar azas legalitas tersebut tentu tidak dibenarkan oleh hukum [2][2]. Kewenangan dan asas legalitas ini merupakan perpaduan yang tidak dapat saling dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dogma ini merupakan episentrum melekat erat dengan pemberlakuan hukum administrasi negara sebagai upaya menegakan tata kelola pemerintahan yang baik menuju clean government di setiap jenjang pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Dalam kaitannya dengan makna admnistrasi negara sebagaimana telah dikuti oleh Ridwan HR dari Prajudi Atmosudirjo yang dimaksud dengan administrasi negara dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu sebagai salah satu fungsi pemerintah, sebagai aparatur (machinery) dan apparatus (apparatus) dari pada pemerintah, dan sebagai proses penyelenggaraan tugas pekerjaan pemerintah yang memerlukan kerjasama secara tertentu [3][3]. Menurut Penulis hukum administrasi negara merupakan alat dalam pengadministrasian dalam suatu pemerintahan. Tujuan tersebut agar setiap kebijakan yang telah dan akan diambil dapat terdokumentasi dengan baik. Admistrasi tersebut juga dapat digunakan sebagai bukti jika suatu saat ditemukan kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan. Tugas dan wewenang yang telah melekat pada pejabat administrasi baik di tingkat pemerintahan pusat maupun daerah koherensi tujuannya hanya satu agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat menyebabakan terjadinya tindakan sewenang-wenang dari pejabat administrasi tersebut.
Paradigma wewenang ini Penulis mencoba menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjjon, ia memberikan makna bahwa wewenang hukum publik hanya dapat dimiliki oleh penguasa. Dalam ajaran ini terkandung setiap orang atau setiap badan yang memiliki hukum publik harus dimasukan dalam golongan penguasa sesuai defenisinya. Ini berarti bahwa setiap orang atau badan yang memeliki wewenang hukum publik dan tidak termasuk dalam daftar nama-nama badan pemerintahan umum seperti disebutakan dalam Undang-Undang Dasar (pembuat undang-undang, menteri, badan-badan provinsi dan kota praja) harus dimasukan dalam desentralisasi (fungsional). Bentuk organisasi yang bersifat yuridis tidak menjadi soal. Badan yang bersangkuatan dapat berbentuk suatu badan yang didirikan oleh undang-undang, tetapi dapat juga badan pemerintahan dari yayasan atau lembaga yangbersifat hukum perdata yang memeliki wewenang hukum publik [4][4]. Konsistensi kebijakan merupakan suatu kebutuhan yang sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintah antara lain dengan memenuhi tuntutan perlakuan yang sama terhadap segenap warga negara untuk menghindari tindakan sewenang-wenang [5][5]. Dalam menjalankan tata pemerintahan khususnya di tingkat pemerintahan daerah sangat rawan dengan adanya praktek penyalahgunaan wewenang dan penafsiran hukum secara subyektif oleh para pejabat administrasi di daerah.
Desentralisasi mengandung makna wewenang utuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah yang lebih rendah baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dbiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan kepada atau membiarkan satuan pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu itu dapat bersifat penuh atau tidak penuh. Penuh kalau penyerahan atau membiarkan mencakup wewenang untuk mengatur dan mengurus baik mengenai asas-asas maupun cara menjakankannya (wewenang mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankannya). Tidak penuh, kalau hanya terbatas pada wewenang untuk mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankan (penuh) adalah otonomi. Sedangkanyang terbatas pada cara menjalankan (tidak penuh) adalah tugas pembantuan (medebewind) [6][6].
Konsepsi adanya otonomi daerah merupakan arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi sifat pemerintah yang cenderung terpusat dengan tidak melibatkan pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan isi Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No.32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah disebutkan bahwa ”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal senada juga telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 yang berbunyi ”Pembagian daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan bentuk susunaan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Menurut Penulis salah satu bukti konkrit dari proses penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak tersistematis dan seolah-olah tidak ada peyalahgunaan wewenang jabatan merupakan modus yang digunakakan kepala daerah dengan bekerja sama pihak legislatif di daerah agar dana pemerintah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan sendiri. Fenomena yang terjadi di daearah dapat ditunjukan dengan adanya ketidakjelasan yang ditunjukan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di daerah dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat menunjukan data riil dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan dari hal tersebut. Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat dan mereka saling bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi.
Modus operandi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan dengan mengatasnamakan untuk pembangunan dearah dan kesejahteraan rakyat dengan melakukan pembelanjaan daerah atas barang dan jasa diluar kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh daerah. Proses otonomi daerah telah dijadikan alat dan senjata bagi para pejabat di daerah untuk memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya saja. Kepala daerah yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab terbesar dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) banyak memanfaatkan posisi jabatannya dan telah terjadi penyimpangan secara administratif baik secara vertikal maupun horizontal. Kepala daerah mempunyai peranan penting dalam proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah. Besar dan kecilnya dapat ditentukan dengan kewengan yang dimiliki. Potensi penyimpangan secara administratif lewat Peraturan Daerah (Perda) akan dapat dimanipulasi ke arah penggunaan dana daerah diluar kebutuhan yang seharusnya dukeluarkan. Konstituen yang telah memilih di daerah telah dikebiri karena pertanggung jawaban secara struktural bukan di daerah akan tetapi kepada pemerintah pusat. Dalam praktek muatan materi administrasi negara tidak dapat digunakan dengan baik dan bahkan konsepsi pidana menjadi superioritas yang mengakibatkan pola penjeratan korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah tidak dapat memberikan kepastian hukum.
Dalam hal pertanggung jawaban secara umum terdapat dua hal yaitu liability dan responsibility. Pengertian liability yaitu “it has been refered to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent, or likely. It has been defined to mean: all character of debts and obligations” (liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin). Pengertian responsibility yaitu “the state of being answerable for on obligation and includes judgement, skill, ability and capacity” (responsibility menunjuk pada hal yang dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kewajiban, termasuk keputusan, ketrampilian, kemampuan, dan kecakapan) [7][7].
Menurut Penulis dalam penerapan pertanggung jawaban terhadap para perilaku pejabat lebih tepat digunakan dalam pengertian responsibility yaitu “the obligation to answer for an act done, and to repair or otherwise make restitution for any injury it may have caused” (kewajiban bertanggung jawab atas undang-udang yang dilaksanakan dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya) [8][8]. Pemaknaan substansi dari aspek pertanggung jawaban dari pemerintah menurut Penulis akan dipengaruhi oleh para subyek hukum yang berada pada birokrasi dalam arti siapa pun yang duduk dalam pemerintahan. Lembaga dalam arti “pemerintah” tidak dapat dijerat secara hukum terhadap setiap implikasi yang telah diperbuatnya. Pemerintah baru akan bergerak dan akan menimbulkan akibat setelah digerakan oleh orang-orang yang duduk di dalamnya. Para pejabat pemerintah lah yang berhak dalam menggerakannya. Para pejabat pemerintah tersebut juga yang mempunyai otoritas tertinggi dalam melakukan kewajibannya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Jika terjadi penyalahgunaan wewenang dalam sebuah birokrasi pemerintahan daerah tersebut, maka pejabat administrasi secara kolektif lah yang akan memberikan pertanggung jawaban.










Posting Komentar

0 Komentar