Illustrasi Pejabat Publik |
Azas legalitas memberikan dasar kewenangan bertindak bagi
pemerintah atau pejabat administrasi negara. Akan tetapi setiap perbuatan
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah atau jabatan administrasi
negara yang keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau
melanggar azas legalitas tersebut tentu tidak dibenarkan oleh hukum [2][2]. Kewenangan dan asas legalitas ini merupakan perpaduan yang
tidak dapat saling dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dogma ini
merupakan episentrum melekat erat dengan pemberlakuan hukum administrasi negara
sebagai upaya menegakan tata kelola pemerintahan yang baik menuju clean government di setiap jenjang
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Dalam kaitannya dengan makna admnistrasi negara sebagaimana
telah dikuti oleh Ridwan HR dari Prajudi Atmosudirjo yang dimaksud dengan administrasi
negara dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu sebagai salah satu fungsi
pemerintah, sebagai aparatur (machinery)
dan apparatus (apparatus) dari pada
pemerintah, dan sebagai proses penyelenggaraan tugas pekerjaan pemerintah yang
memerlukan kerjasama secara tertentu [3][3]. Menurut Penulis hukum administrasi negara merupakan alat
dalam pengadministrasian dalam suatu pemerintahan. Tujuan tersebut agar setiap
kebijakan yang telah dan akan diambil dapat terdokumentasi dengan baik.
Admistrasi tersebut juga dapat digunakan sebagai bukti jika suatu saat
ditemukan kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan. Tugas dan wewenang yang
telah melekat pada pejabat administrasi baik di tingkat pemerintahan pusat
maupun daerah koherensi tujuannya hanya satu agar tidak terjadi penyalahgunaan
wewenang yang dapat menyebabakan terjadinya tindakan sewenang-wenang dari
pejabat administrasi tersebut.
Paradigma wewenang ini Penulis mencoba menggunakan pendapat
yang dikemukakan oleh Philipus M.Hadjjon, ia memberikan makna bahwa wewenang
hukum publik hanya dapat dimiliki oleh penguasa. Dalam ajaran ini terkandung
setiap orang atau setiap badan yang memiliki hukum publik harus dimasukan dalam
golongan penguasa sesuai defenisinya. Ini berarti bahwa setiap orang atau badan
yang memeliki wewenang hukum publik dan tidak termasuk dalam daftar nama-nama
badan pemerintahan umum seperti disebutakan dalam Undang-Undang Dasar (pembuat
undang-undang, menteri, badan-badan provinsi dan kota praja) harus dimasukan
dalam desentralisasi (fungsional). Bentuk organisasi yang bersifat yuridis
tidak menjadi soal. Badan yang bersangkuatan dapat berbentuk suatu badan yang
didirikan oleh undang-undang, tetapi dapat juga badan pemerintahan dari yayasan
atau lembaga yangbersifat hukum perdata yang memeliki wewenang hukum publik [4][4]. Konsistensi kebijakan merupakan suatu kebutuhan yang
sangat diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintah antara lain dengan memenuhi
tuntutan perlakuan yang sama terhadap segenap warga negara untuk menghindari
tindakan sewenang-wenang [5][5]. Dalam menjalankan tata pemerintahan khususnya di tingkat
pemerintahan daerah sangat rawan dengan adanya praktek penyalahgunaan wewenang
dan penafsiran hukum secara subyektif oleh para pejabat administrasi di daerah.
Desentralisasi mengandung makna wewenang utuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah yang
lebih rendah baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional.
Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dbiarkan mengatur dan
mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan kepada atau
membiarkan satuan pemerintahan yang lebih rendah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan tertentu itu dapat bersifat penuh atau tidak penuh. Penuh kalau
penyerahan atau membiarkan mencakup wewenang untuk mengatur dan mengurus baik
mengenai asas-asas maupun cara menjakankannya (wewenang mengatur dan mengurus
asas dan cara menjalankannya). Tidak penuh, kalau hanya terbatas pada wewenang
untuk mengatur dan mengurus asas dan cara menjalankan (penuh) adalah otonomi.
Sedangkanyang terbatas pada cara menjalankan (tidak penuh) adalah tugas
pembantuan (medebewind) [6][6].
Konsepsi adanya otonomi daerah
merupakan arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi sifat
pemerintah yang cenderung terpusat dengan tidak melibatkan pemerintah daerah
untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Desentralisasi merupakan
penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan isi Pasal 1 ayat (6)
Undang-Undang No.32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang
No.12 Tahun 2008 tentang pemerintah daerah disebutkan bahwa ”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal senada
juga telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 18 yang berbunyi ”Pembagian
daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan bentuk susunaan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Menurut Penulis salah satu bukti konkrit dari proses
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak
tersistematis dan seolah-olah tidak ada peyalahgunaan wewenang jabatan
merupakan modus yang digunakakan kepala daerah dengan bekerja sama pihak
legislatif di daerah agar dana pemerintah tersebut dapat digunakan untuk
kepentingan sendiri. Fenomena yang terjadi di daearah dapat ditunjukan dengan
adanya ketidakjelasan yang ditunjukan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di
daerah dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat
menunjukan data riil dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan
dari hal tersebut. Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat
dan mereka saling bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi.
Modus operandi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan dengan mengatasnamakan
untuk pembangunan dearah dan kesejahteraan rakyat dengan melakukan pembelanjaan
daerah atas barang dan jasa diluar kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh
daerah. Proses otonomi daerah telah dijadikan alat dan senjata bagi para
pejabat di daerah untuk memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya
saja. Kepala daerah yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab terbesar dalam
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) banyak memanfaatkan
posisi jabatannya dan telah terjadi penyimpangan secara administratif baik
secara vertikal maupun horizontal. Kepala daerah mempunyai peranan penting
dalam proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah. Besar dan
kecilnya dapat ditentukan dengan kewengan yang dimiliki. Potensi penyimpangan
secara administratif lewat Peraturan Daerah (Perda) akan dapat dimanipulasi ke
arah penggunaan dana daerah diluar kebutuhan yang seharusnya dukeluarkan.
Konstituen yang telah memilih di daerah telah dikebiri karena pertanggung
jawaban secara struktural bukan di daerah akan tetapi kepada pemerintah pusat.
Dalam praktek muatan materi administrasi negara tidak dapat digunakan dengan
baik dan bahkan konsepsi pidana menjadi superioritas yang mengakibatkan pola
penjeratan korupsi yang melibatkan para pejabat di daerah tidak dapat
memberikan kepastian hukum.
Dalam hal pertanggung jawaban secara umum terdapat dua hal
yaitu liability dan responsibility. Pengertian liability yaitu “it has been
refered to as of the most comprehensive significance, including almost every
character of hazard or responsibility, absolute, contingent, or likely. It has
been defined to mean: all character of debts and obligations” (liability
menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter
resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin).
Pengertian responsibility yaitu “the state of being answerable for on
obligation and includes judgement, skill, ability and capacity” (responsibility menunjuk pada hal yang
dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kewajiban, termasuk keputusan,
ketrampilian, kemampuan, dan kecakapan) [7][7].
Menurut Penulis dalam penerapan pertanggung jawaban terhadap
para perilaku pejabat lebih tepat digunakan dalam pengertian responsibility yaitu “the obligation to answer for an act done,
and to repair or otherwise make restitution for any injury it may have caused”
(kewajiban bertanggung jawab atas undang-udang yang dilaksanakan dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang
telah ditimbulkannya) [8][8]. Pemaknaan substansi dari aspek pertanggung jawaban dari
pemerintah menurut Penulis akan dipengaruhi oleh para subyek hukum yang berada
pada birokrasi dalam arti siapa pun yang duduk dalam pemerintahan. Lembaga
dalam arti “pemerintah” tidak dapat
dijerat secara hukum terhadap setiap implikasi yang telah diperbuatnya. Pemerintah
baru akan bergerak dan akan menimbulkan akibat setelah digerakan oleh
orang-orang yang duduk di dalamnya. Para pejabat pemerintah lah yang berhak
dalam menggerakannya. Para pejabat pemerintah tersebut juga yang mempunyai
otoritas tertinggi dalam melakukan kewajibannya dalam setiap kebijakan yang
dikeluarkan. Jika terjadi penyalahgunaan wewenang dalam sebuah birokrasi
pemerintahan daerah tersebut, maka pejabat administrasi secara kolektif lah
yang akan memberikan pertanggung jawaban.
0 Komentar