Header Ads Widget

Responsive Advertisement

JKW PASCA KEKALAHAN AHOK


Jokowi, dalam gambar terkesan sebagai
 seorang playmaker
Kekalahan Ahok pada final Pilkada DKI 19 April kemarin menunjukan peta politik nasionali sesungguhnya. Ada dua catatan penting saya diawal tulisan ini. Catatan pertama kelompok yang ngaku sebagai nasionalis merah yaitu PDIP tidak mampu memboyong Ahok. Kedua,demikian pula Nahdlatul Ulama yang mengaku nasionalis putih. Keduanya gagal memboyong Ahok menuju kursi Gubernur DKI. Dari gagalnya kedua kelompok ini menunjukan bahwa justru rakyat masih memiliki kesadaran nasionalisme yang baik dan genuin.

Variabel konstituen politik nasionalis mulai terbacah,ada tiga kelompok utama yaitu gerbong JKW, Ahok dan PDIP. Kembangannya begini ; (a) Suka JKW tapi tidak suka PDIP dan Ahok, (b) Suka Ahok tapi tidak suka PDIP, (c) Suka Ahok,Suka JKW dan Suka PDIP. Ini tiga tipe yang berlaku hampir merata di konstituen politik nasionalis merah putih. Kekalahan Ahok pada putaran kedua ini sangat dipengaruhi oleh beberapa hal ; (a) Image korup pada kedua calon lebih kental ke Ahok,karena posisi dukungan semua mantan komisioner KPK ada pada Anis. posisi komisioner KPK itu sangat berpengaruh menentukan persepsi publik. (b) Partai pendukung selain PDIP sangat tidak bekerja maksimal. Alasannya jelas,dukungan yang diberikan tersebut dalam rangka untuk sekedar mengamankan nasip politik dan politisi di dalamnya. Sejatinya aliran suara konstituen dari masing-masing Partai tidak searah dengan pilihan partai. Tetapi ada kuncuian yang mesti ditaatai untuk keberlanjutan politiknya di mata rezim JKW. (c) 80 % suara Agus pada putaran kedua memberikan dukungan kepada Anis Sandi. (d) Penyebaran isu anti China meluas dijelang-jelang pencoblosan membuat sebagian warga Jakarta keturunan tidak memberikan hak pilih. (e) Tim pemenangan Ahok melakukan pembagian sembakau dan sumbangan sosial lainnya di saat masa tenang,telah menyebabkan dismarket bagi Ahok. Klaim bahwa Ahok anti korupsi seketika runtuh karena tindakan kecil oleh relawan Ahok tersebut. (f) Nah’yang terakhir ini cukup memalukan, adanya keterlibatan NU melalui Banser dan Ansor yang mengkawal pembagian sembakau dan sumbangan sosial,hingga bentrok dengan laskar Islam yang melakukan nahi munkar politik. Sikap NU ini kemudian menyebabkan banyak suara NU di garis bawah yang berpindah ke Anis dengan tidak mengindahkan keharmonisan Syaid Aghil dengan Ahok selama ini.

Jadi sebenarnya menguatnya Anis yang dominan dukungan muslim itu bukan sekedar alasan ke-Islaman semata,tetapi gerakan sosial itu terkonsolidasi karena tindakan Ahok,NU dan Tim kerja PDIP. Gelombang ini menandakan rakyat kita semakin dewasa dalam berpolitik. Nah’kasus Jakarta ini harusnya menjadi peta bagi JKW dalam mengkalkulasi politik 2019. Menuju 2019 hanya tinggal hitung bulan,sebagian besar pos pos politik JKW mulai dikonsentrasikan untuk mempersiapkan kemenangan JKW di periode kedua.

Salah satu aspek yang mesti di tata adalah perombakan Kabinet kerja JKW,seluruhnya diarahkan untuk cipta kondisi Kemenangan JKW 2019. Skenarionya begini; (a) Teten Masduki yang semula Kepala Staf Kepresiden dipindahkan menjadi Duta Besar, (b) Posisi Teten diganti oleh Rini Marsono yang saat ini menjabat Mentri BUMN, (c) Posisi Rini diganti oleh Yonan yang saat ini menjabat sebagai Mentri ESDM, (d) Sementara posisi Yonan akan digantikan oleh calon kuat dari Hanura, (e) Wiranto akan diganti dengan Joko Susilo yang saat ini bagian dari politik Gerindra,pilihan ke Joko sebenarnya untuk mempenetrasi politik Gerindra di 2019. Pilihan memasukan Joko Susilo ke dalam Menkopolhukam sebenarnya tidak terlalu berbunyi bagi Gerindra,karena posisi Joko Susilo tidak begitu mewakili Gerendra. (f) Kemungkinan Luhut B Panjaitan akan kembali ke posisi Menkopolhukam. (g) Lantas di manakah posisi Ahok,besar kemungkinan posisi Ahok menggantikan posisi Yonan atau LBP.

Posisi Ahok ini jadi serba susah, bagi JKW pilihan itu seperti memakan buah simalaka dalam hubungannya dengan umat Islam. Kemenangan umat Islam di Pilkada DKI membentangkan peta politik 2019,kira-kira begini petanya ;
(a) Melemahnya politik NU,sebagian besar warga nahdiyyin akan meninggalkan intruksi politik elit NU karena perilaku elit NU yang kian pragmatis,  (b) Image penista agama terus tertanam dalam memory pemilih-pemilih muslim, (c) Image JKW pro China pun kian menguat dengan tetap mempertahankan Ahok di jajaran Kabinetnya. Kedua image tersebut (b,c) menjadi pusar pertemuan kelompok relegius Islam dan nasionalis pribumi. (d) Cara cara politik pencitraan JKW sebagaimana periode ke satu tidak akan laku dijual lagi di periode kedua. Sekalipun JKW menginvestasikan modal besar untuk kemenangannya kelak,namun itu susah untuk bisa memanupulasi image dan persepsi publik soal pencitraan. (f) PDIP mengalami kekalahan besar di sejumlah Pilkada di Indonesia,banyak masalah di kepengurusan daerah dan wilayah,sehingga kualitas kepercayaan publik pun kian menurun.

Konvigurasi lain yang mesti dibaca oleh JKW dan PDIP adalah soal arah angin politik Prabowo dan SBY, modal politik Prabowo itu adalah 80 % suara muslimin non NU, tetapi dengan serangkaian ulah elit NU, maka sebagian besar warga NU akan beralih ke Prabowo. SBY nampaknya bermain di lapangan gelap dengan mata kacanya yang menembus pandang politik, SBY adalah sosok yang cerdas memainkan pristiwa untuk market politik. Sosok Gubernur NTB akan menjadi sosok kuat pilihan SBY untuk disandingkan dengan Prabowo di Pilpres 2019. MZM sama sekali tidak bercelah,kepercayaan di mata pemilih muslim hampir sempurna bagi semua kalangan muslim,termasuk NU,demikian juga soal kinerjanya layak untuk diusung mendampingi Prabowo. Bila permainan SBY ini berjalan mulus maka JKW akan kehilangan posisi di suara umat Islam,di tengah terjadi distorsifikasi politik di PDIP.

Posting Komentar

0 Komentar