Industri
Kelautan Dinomorduakan
Industri
Pelayaran, Industri Perikanan, dan Pariwisata Bahari berpeluang besar untuk
dikembangkan sebagai sokoguru ekonomi kelautan di masa-masa mendatan
g.
Laut Indonesia |
Industri pelayaran merupakan tulang
punggung (backbone) sebuah negara kepulauan terbesar. Harus diakui kondisi
industri pelayaran nasional masih terpuruk. Kontribusinya terhadap PDB masih
1,49 persen. Kapal-kapal berbendera asing masih menguasai 96,6 persen muatan
angkutan laut asing, dan menguasai 46,8 persen muatan angkutan laut dalam
negeri.
Indonesia setiap tahun “harus”
membayar jasa kepada kapal-kapal asing itu setidaknya Rp 100 triliun. Akibatnya
terjadi defisit transaksi berjalan, membayar jasa kepada kapal luar negeri
lebih besar daripada mendapatkan penerimaan dari komoditi yang diekspor.
Industri galangan kapal Indonesia
juga masih belum berkembang sedemikian rupa. Padahal peranan industri galangan
kapal sangat besar karena mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang.
Identifikasi akar masalah industri perkapalan, menunjukkan, pajak kapal terlalu
besar dibandingkan negara tetangga terdekat seperti Singapura dan Malaysia.
Dukungan perbankan terhadap
pengembangan industri perkapalan pun masih sangat rendah. Misalnya, dikenakan
suku bunga tinggi terhadap kredit investasi dan kredit modal kerja. Di tataran
kebijakan pun sama saja, belum mampu mendorong industri galangan kapal berikut
industri penunjangnya. Sektor lain terasa tak memberikan dukungan, padahal
industri perkapalan merupakan bagian integral dari keseluruhan industri
maritim.
Persoalan yang sama terjadi pada
sistem pelabuhan di Indonesia, hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari
Singapura atau lainnya. Sistem pelabuhan Indonesia masih tidak efisien, tidak
aman, dan tidak produktif. Daya saing sumber daya manusia pelayarannya pun
relatif rendah, baik itu pelaut maupun di industri pelayaran.
Persoalan yang dihadapi sistem
pelabuhan Indonesia, antara lain, baru kurang dari separuh pelabuhan di
Indonesia yang sudah memperoleh sertifikat International Ship and Port
Facilities Security (ISPS), port days kapal-kapal nasional masih terlalu
tinggi, terdapat kegiatan yang tidak ada pelayanan tetapi dikenakan biaya, dan
belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi pemerintah (regulator) dan fungsi
pengusahaan (operator). Juga belum terjadi kompetisi antarterminal dan
antarpelabuhan, lemahnya pengawasan, penegakan hukum belum efektif, dan belum
tersedia terminal khusus karena rendahnya arus barang.
Industri Perikanan
Potensi industri perikanan
Indonesia sesungguhnya sangat besar, yang sepatutnya menempatkan bangsa ini
sebagai kampiun perikanan di Asia. Tetapi kontribusinya terhadap PDB hanya
berkisar 2 persen hingga 3 persen saja. Yang bikin miris, seolah selamanya
nelayan merupakan kelompok masyarakat termiskin.
Armada kapal ikan bermotor yang
dapat mencapai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat terbatas.
Pertambahan jumlah kapal ikan dalam negeri sangat tak berarti dibanding serbuan
ribuan kapal asing yang diduga melakukan illegal fishing di perairan dan
yurisdiksi Indonesia.
Pertambahan kawasan budidaya
perikanan pun sangat kurang dan tidak signifikan. Demikian pula kawasan-kawasan
industri pengolahan ikan belum banyak terbangun. Bahkan, lebih dari separuh
sarana dan prasarana pelabuhan perikanan tidak difungsikan.
Identifikasi akar masalah
pengembangan industri perikanan, antara lain, pajak kapal yang dirasakan
terlalu besar dan belum memadainya insentif dan kredit untuk kapal perikanan,
sebagaimana di negara lain.
Program APBN/APBD juga masih
terlalu berorientasi pada proyek Economic Overhead Capital (EOC) dan Social
Overhead Capital (SOC), belum mengarah kepada Directly Productive Activity
(DPA) seperti seed untuk investasi kapal, tambak, dan pengolahan.
Di sisi lain, belum ada kebijakan
yang mengatur sistem prosedur kapitalisasi aset dan dana. Karena itu, perlu
diintegrasikan value engineering untuk mengubah lahan pesisir murah menjadi
kawasan budidaya perikanan yang produktif dengan financial engineering melalui
kebijakan fiskal, penjaminan kredit, dan bagi hasil yang adil antara pengelola,
karyawan, masyarakat dan pemerintah daerah.
Pariwisata
Pengembangan pariwisata bahari memiliki kelebihan, diyakini dapat
mempunyai efek berganda (mutiplier effect) yang dapat menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi negara, dan dapat
mendorong konservasi lingkungan.
Pengembangan pariwisata bahari juga berdampak positif pada
tumbuhnya jiwa dan budaya bahari, dan mendorong terwujudnya negara maritim yang
tangguh. Sayangnya, pariwisata bahari nasional belum berkembang. Kontribusinya
terhadap PDB masih sangat kecil. Kalender wisata bahari belum tersusun.
Industri hulu-hilir pariwisata kelautan termasuk multimoda transportasi dan
jasa hospitality belum berkembang.
Identifikasi akar masalah pengembangan pariwisata bahari nasional
antara lain prosedur untuk mendapatkan izin masuk CAIT (Clearance Approval for
Indonesian Territory) sangat mempersulit wisatawan bahari mancanegara, sehingga
banyak cruiser/yacht enggan untuk berkunjung ke objek-objek wisata bahari
Indonesia.
Pengurusan CIQP masih perlu diperbaiki, utamanya mengenai VoA
(Visa on Arrival) maupun visa bisnis yang dinilai masih kurang lama dan tidak
konsisten dengan durasi CAIT. Sebab para yachter mancanegara menginginkan waktu
lebih dari 60 hari agar mereka dapat mengunjungi banyak objek wisata di wilayah
Nusantara.
Persepsi keamanan nasional dan pengelolaan kesehatan lingkungan
juga masih buruk. Kesadaran masyarakat mengelola sumber daya kelautan masih
rendah, ditambah dengan beban kemiskinan yang menyebabkan tingkat kerusakan
terumbu karang menjadi besar akibat pemboman dan penggunaan racun ikan.
Dari semua identifikasi akar permasalahan dalam pengembangan
industri pelayaran, industri perikanan, dan pariwisata bahari, untuk membangun
ekonomi kelautan dibutuhkan keberpihakan pemerintah, keterpaduan kebijakan
lintas sektoral, dan kerjasama antara pemerintah-swasta.
Semuanya memang masih sulit terwujud, antara lain karena belum
tersedia grand strategy yang didukung kebijakan antarlembaga pemerintah dan
pemda, belum tersedia sistem insentif bagi para pelaku, dan belum ada lembaga
khusus yang diberi kewenangan untuk mengoordinasikan antar pelaku.
Kondisi Tahun 2020
Sebagai sokoguru ekonomi kelautan di masa mendatang, industri
pelayaran, industri perikanan, dan pariwisata bahari akan menampakkan wajahnya
yang sesungguhnya di tahun 2020.
·
Diharapkan, tahun 2020
pada industri pelayaran sudah terbangun armada pelayaran nasional yang dapat
memenuhi seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional,
sehingga dapat berperan fair share, yaitu 40 persen kegiatan ekspor-impor.
·
Pelayaran rakyat
mendapatkan peranan penting dalam pelayaran Nusantara, khususnya dalam sistem
distribusi logistik nasional dan angkutan penduduk antarpulau. Juga terbangun
sekurang-kurangnya tiga pelabuhan hub-internasional yaitu di Sabang, Batam, dan
Bitung yang didukung oleh sub-sub sistem pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan
nasional yang berdaya saing.
·
Juga terbangun dua
kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di Batam-Bintan-Karimun,
dan di Bitung. Terbangun pula enam Sekolah Tinggi Pelayaran yang merupakan
center of execellences berstandar internasional yaitu di Banda Aceh, Batam,
Jakarta, Semarang, Makassar, Bitung, dan Ambon yang terpadu dengan sistem SMK
pelayaran berstandar internasional di kota-kota pesisir.
·
Kondisi industri
perikanan nasional yang diharapkan di tahun 2020 adalah meningkatnya
kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.
Terbangun kapal ikan baru sebanyak 5.000 unit dengan ukuran masing-masing 70 GT, dan armada semut sebanyak 25.000 unit dengan ukuran masing-masing 5 GT tersebar di pesisir atau perairan barat Sumatera, Selat Karimata, selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara, Maluku, dan Papua.
Terbangun kapal ikan baru sebanyak 5.000 unit dengan ukuran masing-masing 70 GT, dan armada semut sebanyak 25.000 unit dengan ukuran masing-masing 5 GT tersebar di pesisir atau perairan barat Sumatera, Selat Karimata, selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara, Maluku, dan Papua.
·
Terbangun pula kawasan
industri (cluster) pengolahan ikan terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan
pemasaran pada kawasan-kawasan di pesisir/perairan barat Sumatera, Selat
Karimata, selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, dan Maluku Utara, Maluku
dan Papua, pesisir timur Sumatera, utara Jawa, Papua Selatan, dan Selat
Makassar.
·
Kondisi pariwisata
bahari nasional yang diharapkan di tahun 2020, adalah, terbangunnya daya saing
kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada di pulau Nias, Mentawai,
Batam, Bintan, Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang
Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatbo, Togean, Bunaken, Banda,
dan Raja Ampat.
·
Juga terbangun sarana
dan prasarana kawasan pariwisata bahari baru di Pulau We, Pulau Banyak, Pulau
Enggano, Pulau Rupat, Bangka Belitung, Karimata, Anambas, Natuna, Cilacap,
Roti, Kupang, Lembata, Alor, Siparamanita, Banggai, Sangihe Talaud, Ternate,
Biak, dan Mpia.
·
Pembangunan ekonomi
kelautan perlu dipercepat dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pembangunan
Ekonomi Kelautan. Tugas Pokja adalah menyiapkan grand strategy percepatan
pembangunan ekonomi pelayaran, perikanan, dan pariwisata kelautan.
·
Pokja juga membahas
kebijakan pemerintah dan dunia usaha dalam kewenangan masing-masing instansi.
Lalu, Pokja melaksanakan dan mengusahakan reformasi terutama pada sektor
fiskal, perbankan, dan sistem regulasi/birokrasi untuk mendukung percepatan
pembangunan ekonomi kelautan.
·
Selain itu, menyiapkan
dan mengusulkan RUU Kapitalisasi Aset atas Pengelolaan Kekayaan yang dimiliki
negara, serta, mengupayakan pembentukan lembaga koordinasi khusus yang
berwenang dalam perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian.
·
Dengan demikian peluang
Industri Pelayaran, Industri Perikanan, dan Pariwisata Bahari sebagai sokoguru
ekonomi kelautan dapat terwujud secara nyata di masa-masa mendatang. HT (BI 51)
0 Komentar