Menurut filsuf
Jerman Friedrich Hegel, di dalam sejarah manusia terjadi apa yang disebutnya
perkembangan dialektis, atau dialektika. Dapat diungkapkan
secara sederhana sbb: Mula-mula ada seperangkat paham yang diyakini dan karena
itu dipegang teguh dan diterapkan di dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Paham ini disebut tesis. Di dalam perjalanan waktu tesis mulai
dipertanyakan, karena ada segi-segi lemah yang tidak memuaskan. Tesis mulai
dirasakan kurang ampuh untuk dijadikan pedoman. Orang mulai merongrong dan
menentang bagian-bagian atau bahkan seluruh tesis.
Dirintis
paham-paham tandingan baru, yang perlahan-lahan menggeser kedudukan tesis.
Paham tandingan ini disebut antitesis. Antitesis menentang,
menyoroti, memperbaiki dan menyempurnakan tesis. Alhasil, timbullah paham baru
yang lebih seimbang Paham baru ini sudah memoles atau bahkan mengenyampingkan
segi-segi lemah tesis, dan memadukan segi-segi yang tersisa dengan segi-segi
positif antitesis. Paham baru yang lebih seimbang disebut sintesis. Sintesis juga
tidak akan terus bertahan. Ia akan menjadi tesis baru di dalam siklus berikut,
yang akan ditentang oleh antitesis dan akhirnya bermuara pada sintesis baru
lagi. Begitu seterusnya.
Babak-babak
sejarah umat manusia sering menampakkan terjadinya dialektika semacam itu.
Dalarah Dunia Barat misalnya tesis kehidupan masyarakat yang serba satu, yang
didominasi oleh paham-paham kekristenan selama Abad Tengah , mulai dirongrong
oleh renesans. Renesans mempertanyakan paham dan nilai-nilai dasar kekristenan,
dan ingin mengembalikan dunia Barat ke kebudayaan asli sebelum kekristenan,
yaitu kebudayaan Yunani-Romawi (= Helenisme). Renesans yang manyanjung-nyanjung
alam pikiran ‘klasik’ Yunani-Romawi, ternyata bukannya menghilangkan warna
kekristenen, tetapi membawa koreksi dan penyempurnaan dalam berbagai bidang
penerapan. Terjadi tesis-antitesis dan sistesis.
Dialektika
nampak juga di dalam penataan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat bangsa
dan negara. Baik di Barat maupun di Timur, kekuasaan mula-mula ditanggapi
secara sakral. Kekuasaan diberikan oleh “yang di atas”, oleh “Yang Mahakuasa”
kepada orang dari keturunan tertentu, yang menganggap dirinya perpanjangan tangan
kekuasaan “Yang Mahakuasa”. Kaisar-kaisar dan raja-raja sering menggunakan
gelar : kaisar/raja karena rahmat Tuhan.[1]
Paham ini perlahan-lahan mulai ditentang. Mula-mula di’perbolehkan’ masukan
dari bawah; kemudian berdasarkan tuntutan diberikan beberapa hak kepada “rakyat
jelata”. Sesudah itu paham bergeser sama sekali. Kedaulatan bukan ada di tangan
orang-orang dari keturunan dan kalangan tertentu, melainkan di tangan seluruh rakyat. Inilah
penjungkirbalikan[2] yang
telah terjadi, dan dipelopori oleh revolusi Perancis tahun 1789.
Republik
Indonesia sudah (atau baru) berusia 62 tahun. Dalam kurun waktu ini sudah
terjadi dialektika besar di dalam kehidupan politik. Tanpa terlalu
memperhatikan pergeseran dan benturan kecil-kecilan di sana sini, dialektika perputaran
roda perpolitikan bangsa kita mulai dengan demokrasi parlementer. Demokrasi
parlementer dirasakan kurang memenuhi persyaratan. Ia digantikan dengan
demokrasi Demokpin merupakan antitesis demokrasi yang sebenarnya, karena segala
sesuatu ditentukan oleh Pemimpin Besar Revolusi (Pembesrev). Pemimpin Besar
boleh saja meminta dan mendengar pendapat ‘dari bawah’. Akan tetapi yang
akhirnya menentukan adalah pemimpin besar itu sendiri. Terjadilah pemusatan
kekuasaan di satu tangan. Pemerintahan otokratis dan otoriter muncul
[1] Gratia
divina di dalam bahasa Latin. By divine grace di dalam bahasa
Inggirs. Bij de gratie Gods dalam bahasa Belanda.
[2]
Kata revolusi adalah bentuk kata benda dari kata kerja Latin: revolvere.
Revolvere berarti menjungkirbalikkan. Revolusi Perancis
menjungkirbalikkan paham: tentang kekuasaan. Kekuasaan bukan dari atas melainkan dari ‘bawah’.
Kedaulan bukan di tangan penguasa melainkan di tangan rakyat.
0 Komentar