Header Ads Widget

Responsive Advertisement

DIALEKTIKA PERPOLITIKAN INDONESIA

           Menurut filsuf Jerman Friedrich Hegel, di dalam sejarah manusia terjadi apa yang disebutnya perkembangan dialektis, atau dialektika. Dapat diungkapkan secara sederhana sbb: Mula-mula ada seperangkat paham yang diyakini dan karena itu dipegang teguh dan diterapkan di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Paham ini disebut tesis. Di dalam perjalanan waktu tesis mulai dipertanyakan, karena ada segi-segi lemah yang tidak memuaskan. Tesis mulai dirasakan kurang ampuh untuk dijadikan pedoman. Orang mulai merongrong dan menentang bagian-bagian atau bahkan seluruh tesis.
filsuf Jerman Friedrich Hegel

Dirintis paham-paham tandingan baru, yang perlahan-lahan menggeser kedudukan tesis. Paham tandingan ini disebut antitesis. Antitesis menentang, menyoroti, memperbaiki dan menyempurnakan tesis. Alhasil, timbullah paham baru yang lebih seimbang Paham baru ini sudah memoles atau bahkan mengenyampingkan segi-segi lemah tesis, dan memadukan segi-segi yang tersisa dengan segi-segi positif antitesis. Paham baru yang lebih seimbang  disebut sintesis. Sintesis juga tidak akan terus bertahan. Ia akan menjadi tesis baru di dalam siklus berikut, yang akan ditentang oleh antitesis dan akhirnya bermuara pada sintesis baru lagi. Begitu seterusnya.

Babak-babak sejarah umat manusia sering menampakkan terjadinya dialektika semacam itu. Dalarah Dunia Barat misalnya tesis kehidupan masyarakat yang serba satu, yang didominasi oleh paham-paham kekristenan selama Abad Tengah , mulai dirongrong oleh renesans. Renesans mempertanyakan paham dan nilai-nilai dasar kekristenan, dan ingin mengembalikan dunia Barat ke kebudayaan asli sebelum kekristenan, yaitu kebudayaan Yunani-Romawi (= Helenisme). Renesans yang manyanjung-nyanjung alam pikiran ‘klasik’ Yunani-Romawi, ternyata bukannya menghilangkan warna kekristenen, tetapi membawa koreksi dan penyempurnaan dalam berbagai bidang penerapan. Terjadi tesis-antitesis dan sistesis.

Dialektika nampak juga di dalam penataan dan pengorganisasian kehidupan masyarakat bangsa dan negara. Baik di Barat maupun di Timur, kekuasaan mula-mula ditanggapi secara sakral. Kekuasaan diberikan oleh “yang di atas”, oleh “Yang Mahakuasa” kepada orang dari keturunan tertentu, yang menganggap dirinya perpanjangan tangan kekuasaan “Yang Mahakuasa”. Kaisar-kaisar dan raja-raja sering menggunakan gelar : kaisar/raja karena rahmat Tuhan.[1] Paham ini perlahan-lahan mulai ditentang. Mula-mula di’perbolehkan’ masukan dari bawah; kemudian berdasarkan tuntutan diberikan beberapa hak kepada “rakyat jelata”. Sesudah itu paham bergeser sama sekali. Kedaulatan bukan ada di tangan orang-orang dari keturunan dan kalangan tertentu,  melainkan di tangan seluruh rakyat. Inilah penjungkirbalikan[2] yang telah terjadi, dan dipelopori oleh revolusi Perancis tahun 1789.

Republik Indonesia sudah (atau baru) berusia 62 tahun. Dalam kurun waktu ini sudah terjadi dialektika besar di dalam kehidupan politik. Tanpa terlalu memperhatikan pergeseran dan benturan kecil-kecilan di sana sini, dialektika perputaran roda perpolitikan bangsa kita mulai dengan demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer dirasakan kurang memenuhi persyaratan. Ia digantikan dengan demokrasi Demokpin merupakan antitesis demokrasi yang sebenarnya, karena segala sesuatu ditentukan oleh Pemimpin Besar Revolusi (Pembesrev). Pemimpin Besar boleh saja meminta dan mendengar pendapat ‘dari bawah’. Akan tetapi yang akhirnya menentukan adalah pemimpin besar itu sendiri. Terjadilah pemusatan kekuasaan di satu tangan. Pemerintahan otokratis dan otoriter muncul


[1] Gratia divina di dalam bahasa Latin. By divine grace di dalam bahasa Inggirs. Bij de gratie Gods dalam bahasa Belanda.
[2] Kata revolusi adalah bentuk kata benda dari kata kerja Latin: revolvere. Revolvere berarti menjungkirbalikkan. Revolusi Perancis menjungkirbalikkan paham: tentang kekuasaan. Kekuasaan  bukan dari atas melainkan dari ‘bawah’. Kedaulan bukan di tangan penguasa melainkan di tangan rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar